Istilah money politic tentu tak asing lagi di telinga masyarakat. Praktik pun sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat saat menjelang hingga saat pemilu tiba. Tidak heran menjelang Pilkada bahkan Pilpres 2024 nanti, politik uang sudah gencar dibicarakan di kalangan masyarakat. Bukan hanya dari golongan kaum terdidik, tetapi sudah sampai pada masyarakat awam.
Saat kita bercermin pada pemilu yang sudah sering berlalu, praktik money politic makin merajalela dan berpesta ria di negeri kita. Ia makin sulit dihindarkan dan bahkan sudah menjadi kebiasaan buruk yang ingin dibenarkan dalam khazanah pemilu.
Tak ada alasan yang logis kalau praktik politik uang dibenarkan dalam pemilu. Secara undang-undang sudah jelas mengatakan bahwa politik uang adalah pelanggaran dalam pemilu, bahkan secara moral sekalipun. Lantas, apakah praktiknya akan terus kita biarkan merajalela dalam sistem pemilu kita?
Ya, tentu kita tak menginginkan virus itu merusak sistem pemilu kita. Tetapi, kalau ingin menendangnya dari ranah pemilu jelas bukan pekerjaan yang mudah pula. Bahkan makin hari makin ke sini, praktik money politic dianggap sebagai hal lumrah dalam pemilu dan terkesan bukan lagi kesalahan atau dosa saat melakukannya.
Pertanyaannya, siapa yang paling bersalah dalam praktik money politic ini? Ya, secara undang-undang tentu yang memberi dan menerima politik uang sama-sama bersalah. Akan tetapi, secara moral mungkin tidak terkesan kurang ajar kalau kita mengatakan bahwa para calon kandidat yang membagi-bagi uang dialah paling bersalah.
Mengapa demikian? Mana mungkin masyarakat akan melakukan praktik politik uang jika para calon kandidat tidak membagi-bagi uang atau bahasa kasarnya membeli suara rakyat. Itu memang sebab akibatnya, kandidat memberi uang tentu rakyat akan menerimanya pula, padahal masyarakat pun tidak memintanya.
Seandainya para calon pemimpin kita sama-sama sepakat untuk tidak membagi-bagi uang, maka praktik money politic mungkin tidak bakalan terjadi. Akan tetapi, kelicikan calon pemimpin dengan santainya membagi-bagi uang kepada masyarakat bahkan dengan tegas membeli suara rakyat dengan harga sekian.
Hal ini mesti menjadi cerminan bagi kita, praktik money politic makin sulit dihindarkan, pemimpin makin sulit terpilih jika tidak bagi-bagi uang kepada masyarakat. Sistem pemilu yang sejak dari awal salah, bahkan dapat terus berlanjut salah.
Para calon pemimpin kita mestinya menjadi contoh kepada masyarakat, akan tetapi justru ia mempertontonkan praktik money politic kepada masyarakat secara jelas. Jadi, jangan salah kalau masyarakat juga dengan santainya melakukan praktik politik uang , karena pemimpin yang memulai sendiri.
Problem politik uang makin menjalar, dan mungkin secara moral tidak salah kalau para calon kandidatlah yang paling bersalah. Mereka adalah orang-orang cerdas, pintar, dan tahu aturan, bahkan jelas-jelas mengetahui bahwa praktik money politic adalah kesalahan dalam pemilu. Akan tetapi, mereka juga toh yang melakukannya. Mereka makin hari mengandalkan uang untuk bisa menjadi pemimpin masyarakat dengan menghargai suara rakyat dengan rupiah.
Jadi mari kita bertanya kepada calon pemimpin kita. Beranikah sama-sama berantas money politic? Beranikah mencalonkan diri tanpa money politic? Ya, saya hanya bisa tersenyum manis membayangkannya dan semoga saja para calon pemimpin kita tidak memberikan jawaban mustahil kepada masyarakatnya.