oleh

Setelah Jokowi

Pekerjaan rumah bangsa ini sangat berat, terutama menyatukan untaian benang kusut persatuan yang dalam satu dekade terakhir ini benalu peradaban mencoba meluluhlantakkannya. Belum lagi urusan pandemi selesai, genderang perang for the next president sudah tertabuh.

Hasil survei lembaga survei Litbang Kompas cukup mengejutkan. Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo berada di satu garis di puncak dengan persentase 13,9 persen.

Kita mulai dengan Prabowo. Residu massa setelah pilpres sejatinya telah meninggalkan luka bagi para pendukungnya.

Luka itu tak hanya soal kekalahan, namun terlebih karena Prabowo memilih jalan ninja, yaitu bergabung dengan Jokowi. Simpatisan berkedok agama seperti kecolongan. Surga tak berpihak. Strategi Prabowo ialah berdiam, meninggalkan pertarungan yang tak selesai.

Diamnya Prabowo tak sediam Gerindra. Fadli Zon sesekali keluar dengan ide lucu semacam pembubaran Densus 88, agar politik tak sunyi, pun tuannya tak terlupakan. Kelincahan Fadli tak kita ragukan lagi karena, di kaki yang lain, ia bersenyawa dengan Demok…

Jadi, peluang Prabowo tetap besar, apalagi polaritas masyarakat Indonesia yang masih merindukan heroisme ala tentara untuk menjadi pemimpin. Pengagum Orde Baru masih melihat militer seperti kanagara, mahkota raja yang mereka rindukan.

Ganjar Pranowo di sisi seberang, dengan latar belakang kirmizi PDIP, masih menjadi tanda tanya. Kepak-kepak sayap kebinekaan “mencoba peruntungan”. Megawati pasti sudah tahu siapa yang terbaik. Pengalaman pilpres musim lalu sudah menjadi buktinya.

Sementara itu, di pegunungan Sikunir, Sindoro, Merbabu, Suroloyo, suara-suara Sahabat Ganjar telah berkibar perlahan. Agak berisik di telinga PDIP lantaran Puan Maharani sedang menaikkan popularitasnya. Beberapa partai mulai memasang kuda-kuda, siap menangkap lepasnya Ganjar.

Seperti biasa, Ganjar memang tak peduli dengan survei, namun matanya menampilkan nayanika. Agustus 2021 yang lalu, Charta Politika merilis, Ganjar di urutan teratas. Relawan pendukung Ganjar bahkan disebut barisan Celeng yang lepas dari Banteng. Politik memang begitu.

Sejak Reformasi, PDIP memang menjadi motor bagi banyak perubahan, meskipun dalam beberapa hal, pertarungan internal bahkan perlawanan terhadap kadernya sendiri masih terjadi.

Di belakang Prabowo dan Ganjar, Anies Baswedan sedikit melaju dengan 9,6 persen. Semoga saja ia mengindahkan kampanye bersih tanpa tameng agama. Pilkada DKI yang suram seharusnya tak boleh terulang. Namun senjata kesantunan tutur kata masih menjadi bumbu tersedap untuk fakir literasi.

Bila partai pendukungnya kelak pandai memilih wakil, bukan tidak mungkin si Baswedan ini melenggang mulus ke istana. Partai mana yang mau mengusungnya? Demokrat mungkin ada di sana, karena tipikal kesantunannya sama, dengan sedikit aroma baper.

Jangan lupa, AHY 4,5 persen pada Oktober 2019, 1,3 persen pada Agustus 2020, 2,2 persen pada Januari 2021, 3,3 persen pada April 2021, dan 1,9 persen pada Oktober 2021. Jatuhnya elektabilitas AHY sudah dimulai minimal sejak perseteruan dengan Moeldoko pulus Yusril, dengan gonggongan Andi Arief dkk. Jadi, AHY masih terlalu prematur.

Si Ridwan? Adakah yang menjagokannya? Oktober 2019 3,3 persen, Agustus 2020 1,9 persen, Januari 2021 2,3 persen, April 2021 3,4 persen, Oktober 2021 5,1 persen. Elektabilitas yang naik ini masih meninggalkan kekhawatiran tentang aroma agama yang berkelindan di baliknya. Kecil peluangnya menjadi pilihan.

Tri Rismaharini bagaimana? 2,3 persen pada Oktober 2019, 1,7 persen pada Agustus 2020, 5,2 persen pada Januari 2021, 2,4 persen pada April 2021, dan 4,9 persen pada Oktober 2021 menandakan gerakan sosialnya diakui khalayak. Ia patut diperhitungkan; tinggal bagaimana catur PDIP dimainkan.

Di bawah Risma, nama Sandiaga Uno terselip. 7,3 persen pada Oktober 2019, 5,1 persen pada Agustus 2020, 5,3 persen pada Januari 2021, 3,7 persen pada April 2021, dan 4,6 persen pada Oktober 2021. Peluangnya kecil untuk menjadi numero uno selama Prabowo masih ada; kecuali bila partai peminangnya sangat kuat.

Nama berikutnya ialah Ahok. Oktober 2021, elektabilitasnya naik ke 4,5 persen dari 3,1 persen di April 2021. Kiprahnya di Pertamina memang menarik perhatian. Satu-satunya yang bakal menjadi penghalangnya ialah mesiu agama. Sepertinya Ahok hanya akan memantau, ia tak ingin berada di putaran race.

Di aras pemerintah, bila Mahfud MD maju, Opung Luhut akan tersenyum. Mahfud MD berelektabilitas 0,9 persen pada April 2021 dan 1,2 persen pada Oktober 2021, selisih yang tak signifikan. Ia mulai dilupakan, kecuali bila ia mengeluarkan satu aturan hukum yang benar-benar membunuh koruptor.

Sedang yang terakhir, si Gatot, akan tetap gagal total. Beberapa manuvernya terlalu unik, selayaknya pemain amatir politik. Lihatlah nanti di sepuluh bulan terakhir jelang pilpres. Ide Gatot masih sebatas niskala belaka.

Jadi, siapa calon presiden pilihanmu? Jenggala dan jumantara Indonesia akan menjadi saksi pertarungan nama-nama lain yang mencoba mencari narasi sendiri. “Durian” mungkin masih menguber-uber Cak Imin, sementara PLTU Riau masih membayangi Airlangga.

PKB masih harus berbenah, meskipun elektabilitas partainya bagus. Golkar tak mau menjadi yang utama. Bukankah Golkar senang di zona nyaman dalam buaian karpet merah pemerintah?

Keduanya, PKB dan Golkar, sedang saling menjajaki, layaknya menyemai cinta di ujung swastamita.

Semoga wajah bestari dan meraki, yang melahirkan arunika, menghiasi sejarah Indonesia setelah Jokowi.