SUMBAWA BARAT – Menanggapi konfirmasi wartawan mengenai dugaan konflik antar penyidik Kejaksaan dan Kepolisian terkait penuntasan kasus Korupsi dana Desa Seminar Salit, Kecamatan Brang Rea, otoritas di Kejaksaan Tinggi NTB meradang.
Kepala Seksi Penerangan Umum (Kasi Penkum) Kejati NTB, Efrien Saputra, menolak tuduhan atau penilaian pengamat yang menyebut Jaksa di Sumbawa Barat menghambat penegakkan hukum oleh Kepolisian.
Menurutnya, tidak ada petunjuk jaksa yang dibuat berbelit belit apalagi dituduh menghambat. Berkas perkara kata Efrien bisa P21 menjadi kewenangan jaksa peneliti di Kejari Sumbawa Barat.
“Maaf anda salah alamat meminta tanggapan ke saya. Sebaiknya ke Kejari KSB,” kata, Efrien, cetus.
Menurut Efrien sesuai hukum pidana, jika Jaksa berkeyakinan berkas perkara pidana belum memenuhi syarat formil dan materil akan dituangkan petunjuk dalam P19. Jadi menurutnya, dari sisi mana dikatakan proses P21 berbelit belit. Semuanya diatur dalam KUHAP.
“Saya yakin teman teman peneliti di KSB sangat profesional dalam melaksanakan tugasnya. Mereka akan membuktikan perkara tersebut di pengadilan, Jaksa sebagai dominus litis perkara bukan LSM atau penyidik,” terangnya.
Sementara itu, praktisi hukum pidana, yang juga direktur Law Firm Telusula Indonesia, Muhammad Erry Satriawan, SH,.MH, CPCLE mengatakan Pertama masyarakat perlu mengetahui bahwa dalam sistem peradilan pidana, proses penuntutan itu dimulai dari proses penyidikan, sehingga dapat dikatakan penyidikan dan penuntutan merupakan suatu proses yang tidak terpisahkan dan berkesinambungan.
Terbitnya surat P-19 merupakan wujud asas dominus litis yang dimiliki kejaksaan, dimana kejaksaan adalah pihak yang memiliki perkara, yang mengendalikan atau mengarahkan perkara, dan pihak yang mempunyai kepentingan dalam penentuan perkara.
“Asas dominus litis menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang berhak melakukan penuntutan selain Penuntut Umum yang bersifat absolut dan monopoli. Penuntut Umum menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki dan memonopoli penuntutan dan penyelesaian perkara pidana.
Artinya, sebagai pengendali perkara, arah hukum dari suatu proses penyidikan maupun untuk dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan terhadap suatu perkara tindak pidana hasil penyidikan adalah mutlak wewenang Penuntut Umum.
Kedua, bahwa kemudian terdapat kesan bahwa Penuntut Umum menghambat atau bahkan mempersulit penanganan perkara, tentu menjadi tantangan buat institusi kejaksaan itu sendiri sehingga penanganan perkara akan menjadi efektif, efisien, dan cepat bukan hanya slogan.
Hanya saja, dalam konteks kasus harus didalami jangan sampai ada kesan bahwa keberadaan surat P-19 merupakan penghambat perkara, karena atas nama undang-undang Jaksa tidak akan menyatakan lengkap atau mengeluarkan surat P-21 apabila penyidik tidak atau belum memenuhi petunjuk Jaksa, maka yang harus menjadi pertanyaan adalah apa dasar hukum penyidik belum dapat melengkapi petunjuk.
Kalau kemudian ternyata P19 harus menghadirkan para tersangka yang dalam status DPO atau terdakwa dalam persidangan, maka Alasan yang dapat dijadikan dasar hukum dilaksanakannya peradilan in absentia terhadap terdakwa yang belum diperiksa pada tingkat penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah ketentuan Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tetap bisa mengadili dan memeriksa perkara ini dengan tanpa kehadiran terdakwa (In Absentia).
Hal ini dapat dilakukan apabila Terdakwa telah dipanggil secara sah, tetapi tidak hadir pada pemeriksaan di tingkat penyidikan dan di sidang Pengadilan sedangkan hasil penyidikan telah cukup bukti adanya kesalahan Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara.
Ketentuan Pasal 23 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur bahwa jika terdakwa telah dipanggil dengan sah namun tidak hadir dalam sidang Pengadilan tanpa memberikan alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh Hakim tanpa kehadirannya.
Peradilan in absentia dalam perkara Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundangundangan yang ada sekarang ini, berdasarkan ketentuan Pasal 38 serta penjelasan Pasal 38 dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999, bagaimana pemanggilan dinyatakan sah dan bagaimana ketidakhadiran Terdakwa di sidang Pengadilan dinyatakan sah, maka di dalam praktek hal tersebut dilaksanakan mengacu kepada Pasal 146 (1), penjelasan Pasal 152 (2), Pasal 154 (4) dan Pasal 154 (6) KUHAP.
“Intinya proses hukum bisa dilanjutkan kerana penuntutan tanpa harus menghadirkan terdakwa,”ujarnya.
Sementara itu sumber penyidik reserse Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polres Sumbawa Barat menyebut seluruh petunjuk Jaksa soal penanganan perkara dugaan korupsi APBDes Desa Seminar Salid yang menelan kerugian negara lebih dari Rp 691 juta lebih sebelum dipotong pengembalian sudah dipenuhi. Bahkan gelar perkara berulang kali dilakukan.
“Menurut kami semua sudah dipenuhi. Sudah berulang kali dikonsultasikan. Tapi Jaksa tetap memaksa menghadirkan dua DPO yang sudah ditetapkan tersangka. Ini yang kami fikir tidak masuk akal,” terang, salah satu penyidik.
Penyidik kepolisian sudah meminta keterangan dari saksi ahli tindak pidana. saksi ahli juga memberikan rekomendasi untuk tetap bisa memeriksa dan memproses hukum tersangka hingga ke tahap penuntutan di pengadilan tanpa harus dihadirkan.
Ketua LSM Forum Masyarakat Transparansi (Format), Jhoni Saputra menilai, saling mempertahankan argumentasi proses penyidikan antara dua institusi ini memicu ketidak pastian hukum. Jika Jaksa dan Polisi tetap pada pendiriannya, maka akan terjadi kekosongan hukum.
“Disini Kapolda NTB, Irjen Joko Purwanto di uji. Beliau mantan Direktur Reserse Kriminal Khusus (Krimsus) Mabes Polri. Jika enam tersangka yang sudah ditetapkan Polisi KSB terus dibuat terkatung oleh Jaksa maka, kredibilitas penyidik polri Di Mata publik sangat buruk,” demikian, Jhoni.