oleh

Analisis Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa Dari Segi Pemberdayaan Masyarakat

(Penulis: Ainul Fadila, Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Teknologi Sumbawa)

SUMBAWA – Rencana pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) telah lama menjadi aspirasi sebagian besar masyarakat di wilayah tersebut. Pulau Sumbawa yang terdiri dari beberapa kabupaten seperti Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima dan Kota Bima, secara geografis dan historis memang memiliki karakteristik sosial-budaya dan kebutuhan pembangunan yang cukup berbeda dengan Pulau Lombok. Selama ini, pusat pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) berada di Pulau Lombok, yang menyebabkan ketimpangan perhatian dan pembangunan di Pulau Sumbawa. Maka dari itu, muncul keinginan agar Sumbawa berdiri sebagai provinsi sendiri agar dapat lebih fokus mengelola potensi dan permasalahan yang ada secara mandiri.

Dari sudut pandang pemberdayaan masyarakat, terbentuknya PPS dapat menjadi momentum penting untuk memperkuat peran masyarakat dalam pembangunan. Dengan adanya struktur pemerintahan yang lebih dekat secara geografis dan emosional, proses perumusan kebijakan akan lebih responsif terhadap kebutuhan lokal. Pemberdayaan bukan hanya sebatas pada program bantuan, melainkan pada bagaimana masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembangunan. Pemerintahan yang dekat secara fisik memungkinkan dialog dan partisipasi yang lebih aktif dari masyarakat, sehingga program pembangunan bisa lebih tepat sasaran dan sesuai kondisi riil masyarakat setempat.

Jika Provinsi Pulau Sumbawa benar-benar terbentuk, masyarakat akan merasakan sejumlah keuntungan nyata yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan dan pemberdayaan. Pertama, akses pelayanan publik akan menjadi lebih cepat dan merata. Masyarakat tidak perlu lagi melakukan perjalanan jauh ke Pulau Lombok hanya untuk mengurus dokumen administratif atau mendapatkan pelayanan provinsi, karena kantor-kantor pemerintahan akan tersedia di wilayah yang lebih dekat secara geografis. Kedua, alokasi anggaran pembangunan akan lebih fokus dan sesuai kebutuhan lokal, karena pemerintah provinsi baru akan menetapkan prioritas berdasarkan potensi dan permasalahan khas Pulau Sumbawa. Ini mencakup pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, sarana pendidikan, dan fasilitas kesehatan yang lebih merata hingga ke pelosok desa.

Ketiga, pembukaan lapangan kerja akan meningkat secara signifikan. Dengan terbentuknya PPS, akan dibutuhkan banyak tenaga kerja baru untuk mengisi struktur pemerintahan, lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sektor-sektor penunjang lainnya. Hal ini akan mengurangi angka pengangguran di wilayah tersebut dan menjadi kesempatan bagi SDM lokal untuk berkontribusi. Keempat, pemberdayaan potensi ekonomi lokal akan lebih terarah, seperti sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan pariwisata, yang selama ini belum tergarap maksimal karena terbatasnya akses dan dukungan kebijakan dari pusat provinsi di Lombok. Kelima, terbentuknya PPS dapat menjadi pemicu kebangkitan identitas dan harga diri masyarakat Pulau Sumbawa, karena mereka akan memiliki wadah sendiri untuk menentukan arah pembangunan daerah berdasarkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang mereka miliki.

Namun, di balik peluang tersebut, terdapat tantangan dan risiko yang harus diantisipasi. Salah satunya adalah beban anggaran yang sangat besar di awal pembentukan provinsi. Infrastruktur pemerintahan baru, seperti gedung DPRD, kantor gubernur, hingga dinas-dinas teknis, harus dibangun dari nol. Jika tidak disertai perencanaan keuangan yang matang dan tata kelola yang profesional, anggaran pembangunan bisa terserap hanya untuk operasional pemerintahan tanpa menghasilkan dampak nyata bagi masyarakat.

Tantangan lainnya adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM). Pemerintahan provinsi membutuhkan banyak tenaga ahli di bidang birokrasi, perencanaan, pengelolaan keuangan, dan pelayanan publik. Jika SDM lokal belum memadai dari segi kapasitas dan integritas, dikhawatirkan PPS hanya akan menjadi ladang baru bagi nepotisme dan pemborosan anggaran. Dalam hal ini, pemberdayaan masyarakat tidak boleh hanya menjadi jargon, melainkan harus dimulai dari pembangunan kualitas SDM lokal agar mampu mengelola daerahnya sendiri dengan amanah dan profesional.

Di sisi lain, pembentukan provinsi baru juga dapat menimbulkan friksi sosial-politik antar kabupaten atau antarwilayah, terutama dalam penentuan lokasi ibu kota provinsi dan distribusi sumber daya. Jika tidak dikelola dengan bijak, bisa terjadi ketimpangan baru yang justru merusak harmoni masyarakat yang selama ini hidup berdampingan. Maka dibutuhkan kepemimpinan daerah yang visioner, adil, dan mampu menyatukan seluruh komponen masyarakat di Pulau Sumbawa.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat prinsip-prinsip dasar yang menjadi fondasi dalam pelaksanaan otonomi daerah, seperti pemerataan, keadilan, efisiensi, efektivitas, dan kesejahteraan masyarakat. Undang-undang ini secara tegas memberikan mandat kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya, dengan tujuan akhir meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Dalam hal ini, pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dapat dikaji sebagai bentuk pelaksanaan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang lebih dekat, tepat, dan sesuai dengan karakteristik lokal.

Salah satu poin penting dalam UU No. 23 Tahun 2014 adalah pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam Pasal 12 ayat (1), dijelaskan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi mencakup bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perhubungan, dan lainnya yang sifatnya lintas kabupaten/kota. Jika PPS terbentuk, maka pengelolaan urusan-urusan penting ini bisa difokuskan langsung oleh pemerintah provinsi baru yang lebih memahami kebutuhan masyarakat Pulau Sumbawa secara spesifik. Misalnya, pengembangan pendidikan kejuruan yang sesuai dengan potensi lokal seperti peternakan atau pariwisata alam, serta perencanaan infrastruktur transportasi yang menyambungkan antarwilayah di pulau tersebut secara merata.

UU ini juga mengatur tentang standar pelayanan minimal (SPM) yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah untuk menjamin hak-hak dasar warga negara. Sayangnya, karena letak geografis Pulau Sumbawa yang terpisah dari pusat provinsi NTB (yang ada di Pulau Lombok), banyak wilayah di Sumbawa mengalami ketimpangan dalam pelayanan publik, terutama dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Oleh karena itu, pembentukan PPS sejalan dengan amanat UU ini untuk mendekatkan layanan kepada rakyat dan memperkuat pencapaian SPM di daerah yang selama ini tertinggal.

Dalam UU No. 23 Tahun 2014, juga dijelaskan tentang penataan daerah dan syarat-syarat pembentukan daerah otonomi baru, termasuk provinsi. Salah satu syarat tersebut adalah adanya kapasitas ekonomi, sosial, budaya, dan kesiapan administratif. Pulau Sumbawa secara umum telah menunjukkan indikator-indikator ini memiliki empat kabupaten/kota yang aktif, potensi sumber daya alam melimpah, serta kultur masyarakat yang kohesif dan mendukung pembentukan PPS. Maka, jika dilihat dari kacamata UU, pemekaran wilayah ini bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga relevan secara sosial dan strategis secara pembangunan.