oleh

Mencari Soekarno yang Hilang Selama Pandemi

Siapa itu Soekarno? Ke mana Soekarno ketika negara ini telah berulang kali merayakan HUT kemerdekaan? Di mana Soekarno ketika masyarakat kita didera kebuntuan dalam bernegosiasi antara krisis kesehatan dan ekonomi karena pandemi hari ini?

Jangan-jangan Soekarno memang tidak pernah hadir dalam perjalanan bangsa ini? Jangan-jangan Soekarno dibuat absen dalam setiap rumusan kebijakan politik, mulai dari level pusat hingga daerah, dari Sabang sampai Merauke?

Atau, jangan-jangan, ketidakhadiran Soekarno itu justru disebabkan oleh ulah kita sendiri: membuatnya menjadi fosil dalam bentuk patung, upacara bendera, lembaga pembinaan ideologi, teks-teks proklamasi, dan seperangkat birokrasi yang ajek?

Mengapa kita tidak belajar menjadi seperti Soekarno, orang yang mendorong kita untuk berani bermimpi setinggi langit agar kalau pun jatuh, kita jatuh di antara bintang-bintang?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat penting bagi kita untuk membaca ulang sejarah bernegara dan memberikan signifikansi bagi sejarah hidup kita sebagai warga negara di mana pun kita berada. Ini penting karena 76 tahun bukan sekadar angka. Ia menjelma tanda yang mengandung makna poetik: menciptakan makna baru bagi sejarah hidup kita saat ini dan generasi mendatang.

Tanpa kerja semacam ini, bisa diprediksikan, bangsa ini mengalami obesitas disorientasi, baik secara internal maupun internasional. Dengan kata lain, merayakan HUT kemerdekaan mestinya membuat kita memikirkan strategi lain yang mampu menciptakan kemungkinan bagi munculnya Soekarno di berbagai bidang di masa depan. Oleh karena itu, terdapat tiga cara membaca Soekarno sebagai agensi politik, sebagai berikut:

Fisika Kuantum dan Epigenetika

Dalam perspektif ini, semua manusia dilihat sebagai energi atau medan energi. Mirip dengan hukum kekekalan energi, medan ini tidak akan pernah mati sekalipun tubuh manusia berkalang tanah alias meninggal. Itulah alasannya mengapa kita yang hidup sering membicarakan sejarah hidup orang-orang terdekat kita yang sudah meninggal dunia berpuluh-puluh tahun lampau.

Tapi yang terpenting adalah bahwa kenangan kita tentang orang-orang itu bukan datang dari gelar kehormatan atau timbunan material yang ia wariskan, melainkan datang dari spirit yang tetap hidup dalam diri kita yang masih hidup. Singkatnya, hidup kita hari ini menjadi bermakna justru karena peranan orang-orang ini!

Sama seperti cara kita mengenang para nabi, kita mestinya mengenang Soekarno dalam setiap pergulatan, kekecewaan, kegetiran, dan kenikmatan dalam melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan yang kita alami setiap hari, terutama pada masa pandemi ini.

Ketika Anda berani menolak godaan korupsi, di situlah Soekarno hadir. Soekarno hanya akan hadir ketika Anda tidak sombong karena telah menamatkan pendidikan tinggi sementara tidak semua teman-teman di kampungmu menikmati aksesibilitas yang sama.

Soekarno hadir ketika Anda tidak saling sikut mencari musuh dalam komunitas internal melainkan merumuskan “musuh” terkini dari luar yakni cengkeraman kapitalisme finansial hari ini. Atau mengutip pernyataannya, “yang pertama-tama menyebabkan kolonialisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal—hidup dalam tanah-airnya sendiri”.

Kajian Historis

Dalam sejarah, orang sering melihat Soekarno sebagai founding father semata. Cara baca ini membawa konsekuensi logis pada objektivikasi pandangan bahwa Soekarno memang sudah mati. Akibatnya, kita dibuat mengenang Soekarno hanya melalui arca, catatan sejarah, dan seremoni kebangsaan. Kita dibuat lupa bahwa Soekarno masih tetap hidup dalam setiap generasi.

Inilah yang kemudian membedakan dua tipologi masyarakat Indonesia ketika memikirkan Soekarno. Pertama, elit-elit yang mengenang Soekarno sebatas pada kehebatan dan kebesarannya dalam parameter birokrasi kekuasaan negara. Implikasinya yakni cukup sulit ada pembicaraan serius tentang Soekarno di luar parameter kenegaraan.

Kedua, masyarakat biasa yang mengenang Soekarno melalui energi perlawanan mereka terhadap ketidakadilan dan diskriminasi. Dalam 𝐷𝑖 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ 𝐵𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑎 𝑅𝑒𝑣𝑜𝑙𝑢𝑠𝑖 𝐽𝑖𝑙𝑖𝑑 𝐼, terdapat tulisan Soekarno berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan marxisme”. Ia menulis demikian,

“Banyak nasionalis-nasionalis di antara kita yang sama lupa bahwa pergerakan-nasionalisme dan Islamisme di Indonesia ini—ya, di seluruh Asia—ada sama asalnya, sebagai yang telah kita uraikan di awal tulisan ini: dua-duanya berasal nafsu melawan “Barat”, atau lebih tegas, melawan kapitalisme dan imperialisme Barat.”

Dengan kata lain, kelompok masyarakat ini yakin bahwa energi Soekarno tetap hidup dalam setiap bentuk perlawanan mereka terhadap rezim yang sewenang-wenang.

Psikoanalisa

Sebagai 𝘱𝘳𝘦𝘴𝘦𝘯𝘵𝘪𝘢 𝘪𝘯 𝘢𝘣𝘴𝘦𝘯𝘵𝘪𝘢, Soekarno menjadi begitu hidup pada zaman ini justru ketika ia memilih tidak hadir.

Ini bisa kita lihat dalam situasi krisis belakangan ini, persis ketika kita merayakan HUT Kemerdekaan Ke-77 RI. Dengan kata lain, hadirnya pandemi selama hampir empat tahun ini membuka selubung kerentanan berlapis bahwa ternyata kita bukan hanya belum merdeka melainkan juga bahwa kita telah kehilangan spirit Soekarno.

Kelompok elitis coba menerjemahkan ketakhadiran Soekarno itu melalui pembentukan lembaga-lembaga pembinaan ideologi negara, protokol tujuh belasan, dan bahkan sampai pada tagar #sayaindonesiasayapancasila.

Akibatnya, hari ini, di mana-mana kita saling bertengkar tentang siapa yang paling taat protokol kesehatan, siapa yang paling nasionalis karena sudah divaksin, siapa di antara kita yang paling pancasilais karena mematuhi peraturan pemerintah yang selalu berubah-ubah itu. Kita tampak seperti domba yang tercerai-berai karena kehilangan leadership sang gembala. Atau memang ada gembala tetapi tidak tahu bagaimana caranya menggembalakan domba-dombanya.

Sementara itu, kelompok masyarakat biasa coba menerjemahkan dan mengisi ketakhadiran itu melalui perjuangan melawan ketidakadilan dan diskriminasi. Absennya Soekarno secara fisik hari ini memampukan mereka merumuskan tindakan perlwanan secara kolektif bahwa negara ini tidak butuh gembala yang baik. Kita butuh gembala yang cerdas dan taktis, baik dalam merumuskan kepentingan para domba sekaligus merancang taktik menghadapi hadangan musuh.

Agensi Politik

Melalui tiga cara pandang di atas, setiap kita diberi peluang yang sama untuk menerjemahkan Soekarno sebagai model atau agensi politik. Disebut demikian karena energi seorang Soekarno adalah to influence, memengaruhi sebanyak mungkin orang, baik dalam kapasitas sebagai eksekutor tindakan maupun kapasitas pemikiran. Artinya, bukan hanya bekerja banyak dan berpikir sedikit tapi bekerja banyak dan berpikir banyak. Tidak ada perbedaan antara ide dan praktik.

Membentuk kapasitas agensi politik inilah yang kemudian menengaskan bahwa jika kita menganggap diri sebagai orang Indonesia, artinya kita harus belajar menjadi Soekarno. Disebut demikian karena Soekarno adalah Indonesia itu sendiri. Tidak ada Indonesia tanpa Soekarno; dan tanpa Soekarno, mustahil kita merayakan HUT Kemerdekaan bangsa yang sudah tidak lagi muda ini.

Jika demikian, kita mestinya selalu ditampar berulang-kali dengan pertanyaan ini: sudahkah Anda dan saya belajar menjadi Soekarno selama ini?

“Kita berdiri di tengah umat manusia”, demikian kata J. Slauerhof, “tetapi sedihnya, kita mencari Tuhan.”

Dengan bibir gemetar dan hati yang getir, kita dapat menambahkan, “Kita berdiri di tengah rakyat Indonesia, tapi sedihnya, kita mencari Soekarno.”(Hans Hayon).