oleh

Suku Sasak tak Mengenal Lamaran, Mau Menikah Harus Culik Dulu

* Reportase dari Desa Sade, Lombok Tengah, NTB

Pepatah lama yang menyebutkan ‘lain lubuk lain ikan, lain ladang lain belalang’ ternyata benar adanya. Paling tidak kondisi itu yang dapat kita saksikan dari adat budaya kehidupan suku Sasak yang berada Desa Sade Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

ADA yang unik atau bahkan aneh terlihat dalam kehidupan suku ini. Salah satunya adalah saat menjelang pernikahan kawula mudanya.

Di banyak daerah di nusantara tercatat bahwa ada tradisi sebelum menikah si anak gadis terlebih dahulu dipinang atau dilamar oleh calon suaminya. Apabila sudah ada kesepakatan kedua belah pihak keluarga, maka selanjutnya akan dikuti oleh proses pernikahan, yang antara lain ditandai dengan upacara pesta adat.

Namun tradisi melamar ini tidak berlaku bagi suku Sasak. Alasannya karena di sana (melamar) tidak ada tawar menawar menyangkut mahar. Menurut budaya dan keyakinan orang Sasak, tawar menawar hanya berlaku untuk barang dan hal itu tidak berlaku untuk manusia.

Di kalangan mereka, apabila ada yang mencoba menawar si gadis dengan mahar tertentu, maka kondisi itu sama saja dengan mempermalukan orang tua si gadis yang bersangkutan.

“Masak anak gadis kami dilamar, apa anak gadis kami memang barang yang harus ditawar-tawar harganya,” ungkap Enoh, tokoh masyarakat suku Sasak di Desa Sade.

Lalu bagaimana cara si pemuda jika ingin mempersunting sang kekasihnya tercinta? Langkah yang harus ditempuhnya adalah harus berani menculik si gadis, untuk kemudian dibawa lari ke rumah orang tua si pemuda. Selanjutnya para tetua adat suku Sasak akan menghubungi orangtua si gadis guna membicarakan langkah-langkah berikutnya untuk persiapan pernikahan putra putri mereka.

Tapi jangan berpikir macam-macam dulu. Perlu dicatat bahwa selama berada di rumah orang tua si pemuda, si gadis tersebut tidak boleh disentuh sama sekali. Artinya harus melaksanakan pernikahan terlebih dahulu baru boleh memiliki si gadis pujaannya.

“Maksudnya si gadis harus ‘diamankan’ terlebih dahulu di rumah calon suaminya agar ia tidak diculik oleh pemuda yang lain,” papar Enoh, yang belakangan ini lebih memilih sebagai pemandu wisata tentang kehidupan suku Sasak sebagai profesinya.

Menurut catatan berbagai sumber, termasuk Wikipedia Indonesia, sebagian besar suku Sasak beragama Islam. Namun, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni, Islam Wetu Telu.

Selain itu, ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama ‘Sasak Boda’, yaitu masih menganut kepercayaan dengan menyembah roh para leluhur serta mengakui Sidharta Gautama sebagi figur utama.

Kata Sasak berasal dari kata sak sak, artinya satu satu. Kata sak juga dipakai oleh sebagian suku Dayak di Pulau Kalimantan untuk mengatakan satu. Orang Sasak terkenal pintar membuat kain dengan cara menenun, dahulu setiap perempuan akan dikatakan dewasa dan siap berumah tangga jika sudah pandai menenun.

Kata sèsèk berasal dari kata sesak, sesek atau saksak. Sèsèk dilakukan dengan cara memasukkan benang satu persatu (sak sak), kemudian benang disesakkan atau dirapatkan hingga sesak dan padat untuk menjadi bentuk kain dengan cara memukul mukulkan alat tenun.

Uniknya suara yang terdengar ketika memukul-mukul alat tenun itu pun terdengar seperti suara sak sak dan hanya dilakukan dua kali saja. Itulah asal kata sasak yang kemudian diambil sebagai nama suku di Pulau Lombok.

Suku Sasak yang mula-mula mendiami Pulau Lombok menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Sasak sangat dekat dengan bahasa suku Samawa, Bima, dan bahkan Sulawesi, terutama Sulawesi Tenggara yang berbahasa Tolaki.

Pengaruh Bali dan Melayu sangat terasa dalam adat istiadat suku Sasak. Pengaruh Bali datang dari Kerajaan Karangasem yang pernah menguasai Pulau Lombok selama kurang lebih 2 abad, sedangkan pengaruh Melayu berasal dari pendakwah Islam di bumi sasak.

Adat dan budaya yang berasal dari pengaruh Bali seperti gendang beleq, gamelan tokol, perang topat, dan cakepung atau cepung. Sementara adat dan budaya yang berasal dari pengaruh Melayu seperti gambus, rudat, dan cilokaq Sasak.(bukhari m ali)