oleh

Bila Saya Jadi Presiden Selepas Jokowi

Bila saya jadi presiden selepas Jokowi, maka saya cuma akan jadi kromosom pelengkap terhadap kromosom J7. Hanya satu fase lanjutan dari proses mutasi genetik kepemimpinan Indonesia. Saya tidak bisa jadi kromosom kunci yang mengakhiri mutasi itu. Tidak bisa karena saya bukan orang taat beragama. Padahal itu syarat pokok.

Target saya cuma menciptakan kondisi yang seideal mungkin untuk lahirnya kromosom kunci yang dimaksud. Kondisi minim maling, minim munafiq, minim basa-basi gombal mukiyo.

Ini saya tulis karena ada yang nanya. Juga karena saya iseng. Lebih-lebih karena saya usil. Lebih lebih-lebih karena saya nganggur.

Demikian. Berikut paket kebijakan bila saya jadi presiden selepas Jokowi.

1. Mega proyek bangun 100.000 penjara. Target penyelesaian 2 tahun.

Disusul dengan membuka lapangan kerja untuk sipir. Target saya menyerap 10 juta angkatan kerja.

Disusul dengan program pemenuhan standar kelayakan penjara, mengikuti benchmarking global yang berlaku. Sasaran saya menghadirkan penjara bertaraf internasional. Republik harus menjadi destinasi utama narapidana se-Asia Tenggara, minimal.

2. Isi penjaranya.

Target pertama calon penghuni penjara percontohan saya adalah institusi kehakiman. Lalu kejaksaan. Lalu kepolisian. Pengacara tidak usah, kecuali kepepet. Karena program mega peradilan ini jelas butuh pengacara.

Target saya sebanyak mungkin memenjara aparat penegak hukum. Tujuannya membuka lapangan kerja. Target 80% penegak hukum harus masuk sel semua, dalam tempo 3 tahun. Persentase itu berdasar pada asumsi bahwa orang jujur itu oknum. Asumsi ini ilmiah apa tidak, saya tidak peduli. Saya presiden kok. Ape lo? Kudeta? Bantai. Saya bukan Gus Dur.

Disusul perekrutan massal penegak hukum, dengan sasaran 2 kali lipat jumlah yang ada sekarang, di semua lini. Alias sekitar 836.000 angkatan kerja.

Alah, genapkan 1 juta lagilah.

3. Gaya kepemimpinan represif inversal.

Artinya saya akan pakai gaya Orba, tapi sasarannya terbalik. Banyak elite dan orang kaya akan saya hilangkan paksa. Target 2 juta jiwa. Dasarnya asumsi seperti di atas, orang kaya yang jujur itu oknum.

Target awal dimulai dari orang-orang yang sekarang ini sedang jadi invisible hands di republik. Saya jadikan invisible heads. Hilang kepalanya.

Saya pertimbangkan untuk orang-orang tersebut di atas saya bikinkan festival gergaji kepala mereka di balai-balai desa, untuk mengenang Salim Kancil. Tapi nanti lihat-lihat lagi, jangan boros APBN. Mungkin bisa tender outsourcing, khusus ormas.

Rinse and repeat, lanjut top-down sampai ke level lurah.

4. Moratorium alokasi APBN untuk pulau Jawa selama periode kepresidenan saya. Kalau 2 periode, ya 10 tahun itu pulau harus mandiri dengan PAD. Mampus, mampus lu.

Kudeta? Bantai. Mampus, mampus lu.

5. Rombak total sistem pendidikan, melalui rembuk akbar nasional; melibatkan semua unsur masyarakat. Yang masih hidup. Target 1 tahun.

Golongan Putih Pemilu Presiden

6. Pelaksanaan hasil rembuk akbar pendidikan nasional. Asumsinya minimal pasti melibatkan mega proyek rehab dan bangun massal sekolah di seluruh luar jawa. Dan program-program lain, standarlah.

Saya tidak khawatir bakal kerepotan dengan hasil rembuk itu. Selama rembuknya beneran, saya percaya orang pendidikan di Indonesia ini masih banyak yang waras.

Walaupun yang jujur tetap oknum. Tapi tidak apa-apa, saya harap kejujuran itu akan timbul sendiri saat menyaksikan begitu banyak tukang ngibul dan koruptor saya serahkan ke masyarakat untuk disate di alun-alun demi menghemat kapasitas penjara kinclong saya.

Kejujuran berbasis trauma. Apa boleh buat, manusia hidup itu harus mensyukuri yang ada, jangan terlalu idealislah.

7. Selain dari yang disebut di atas, semua bidang lain biar autopilot saja dengan sistem yang sudah ada.

Peduli amat. Wek. Kudeta? Bantai.

8. Dananya dari mana?

Dari ghonimah alias jarahan korban paket kebijakan nomor 3.

Quod Erat Demonstrandum.

Demikian bila saya jadi presiden selepas Jokowi. Tinggal tunggu parpol yang mau dukung saya berdasar misi non-visi di atas.

Tentu saja tidak akan ada. Karena berbeda dengan manusia Indonesia, yang jujur itu oknum. Kalau untuk parpol, yang jujur itu almarhum.

Oleh: Fritz Haryadi
Self-Employed | Tinggal di Jayapura.

Sumber: nalarpolitik.com