Sejak Bharada E mengajukan diri menjadi Justice Collaborator, hidupnya benar-benar telah dia hibahkan pada kebenaran. Serta-merta hidupnya pun berubah. Dia bukan sosok yang sama lagi.
Saat ini dia masih dikenakan pasal 338 KUHP juncto pasal 55 dan atau pasal 56. Masih masuk ranah pembunuhan meski lebih pada maksud bersekongkol dan turut serta.
Pada saatnya, dia pantas dikenakan pasal 51 KUHP di mana perannya di sana karena menjalankan perintah atasannya. Dia pantas dibebaskan. Setelahnya, negara harus menjamin keselamatannya meski harus ganti identitas.
Tanpanya, tak mungkin kisah Ferdy Sambo ini terungkap. Tanpanya, negara ini akan terus dan selalu terjebak dalam drama gila-gilaan tak kenal malu dan namun tak pernah dapat dibongkar.
Mereka, para penguasa dan kroninya itu telah mengikatkan diri dalam pola hubungan luar biasa rapat dalam sepakat untuk saling melindungi.
Sepertinya dia masih akan aman hingga kisah ini berakhir di Pengadilan. Setelah itu, siapa akan jamin?
Bila negara fair, segala hal yang terkait dan untuk hidupnya, sejak saat kini dan nanti, harus MENJADI URUSAN NEGARA. Yang dia lawan harus kita asosiasikan bukan hanya sekedar Ferdy Sambo dan kawan-kawan. Ada kait-mengkait luar biasa rumit di balik semua kisah itu.
Bila itu hanya perkara biasa, tak mungkin perintah selesaikan harus muncul dari Presiden dan harus berkali-kali.
Untuk saat ini hingga hari pengadilan kelak, LPSK memang bertanggung jawab, namun bagaimana setelahnya?
Bila KELAK setelah semua usai karena satu dan lain hal yang bersangkutan itu harus ganti identitas misalnya, atau bahkan bila harus operasi plastik demi kepastian identitas itu tak bocor, negara harus HADIR dan memfasilitasi.
Mungkin terkesan berlebihan, namun nyawa seseorang tak boleh digadaikan dengan debat perspektif. Kita tidak dan bukan sedang berada dalam posisinya, itu saja.(NP)