Menjelang pemilu 2024 tentu menyimpan banyak kepentingan. Pada momentum tersebut, rakyat Indonesia diperhadapkan dengan beberapa pilihan, di antaranya adalah memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPRD, dan DPD.
Secara serentak, seluruh rakyat Indonesia akan menentukan pilihannya. Namun dalam proses menuju momentum tersebut, terdapat berbagai macam penyimpangan yang harus digarisbawahi.
Demokrasi kita hari ini amatlah jauh dari apa yang sudah dicantumkan dalam UUD 1945. Sebagaimana dalam pembukaannya bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perkeadilan.
Hari ini kita masih dijajah namun dalam bentuk yang berbeda. Kita tidak lagi dijajah oleh kolonialisme asing melainkan bangsa sendiri. Rakyat dijajah oleh para aktor yang lahir dari suara rakyat.
Namun penjajahan tersebut tidak datang begitu saja. Tentu kedatangan tersebut hadir dari proses praktik politik yang tidak sehat yang kemudian mengacu pada kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dan bukan kepentingan rakyat Indonesia.
Pertama-tama yang harus kita amati bersama bahwa kenakalan para aktor praktik politik di negeri ini masih terus terjadi. Perebutan kursi Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPRD, dan DPD seolah-olah dibuat seperti barang dagangan yang ditawarkan untuk dibeli dengan biaya yang begitu mahal.
Seperti pada umumnya, menjelang pemilu, terdapat koalisi-koalisi yang bersatu dan menyatu; mula-mula berawal dari konsolidasi. Sebagai contoh, partai A ingin mencalonkan kadernya pada pemilu 2024. Untuk memenangkan kader partainya, maka dibutuhkan dukungan dari partai-partai lain. Pada titik inilah konsolidasi terbentuk.
Mengoptimalkan konsolidasi biasanya langsung berisi pembahasan yang merujuk pada negosiasi. Pembahasan tersebut biasanya mengarah pada ring-ring Kementerian, BUMN, dan Lembaga Negara lainnya jika dukungan diberikan dan menang pada pemilihan umum.
Setelah konsolidasi, negosiasi menemukan titik terang, maka pembahasan selanjutnya adalah bagaimana cara memenangkannya. Tentu di tahap ini membutuhkan dukungan dan modal kampanye yang besar. Pertanyaannya, darimana datangnya sumber-sumber dana tersebut?
Hal yang wajar jika itu datang dari anggota partai politik. Namun sangat tidak wajar jika bantuan itu datang dari negara-negara luar apalagi dari pemodal asing. Pertanyaan selanjutnya, dana bantuan seperti itu digunakan untuk apa?
Setiap dari kita pasti menemukan yang namanya serangan fajar. Jika serangan fajar itu diberikan setiap individu Rp500.000 dengan jumlah pemilih 206 juta, maka dalam praktik politik seperti ini sudah menghasilkan miliaran rupiah untuk tahap pertama. Masih banyak tahap-tahap yang selalu menggunakan uang sebagai jalan untuk menempuh kemenangan. Pada titik inilah partai politik kehilangan fungsinya dalam mendidik masyarakat.
Walaupun partai politik tidak boleh menerima bantuan dari negara-negara luar, namun dalam beberapa hal bantuan dan dukungan dari negara-negara luar masih saja terjadi dengan tidak mengatasnamakan partai politik, namun orang-orangnya adalah pengurus partai itu sendiri. Pertanyaannya adalah, kenapa negara-negara luar selalu ikut terlibat dalam pemilu Indonesia?
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Indonesia selalu menyimpan hasil alam. Bahkan di Timur Indonesia mampu memberikan kehidupan untuk negara-negara Eropa, salah satunya Maluku Utara yang menyimpan litium, dengan penghasilan baterai terbesar di Indonesia, dan kedua di dunia yang menjadi gencaran para pemodal asing.
Lantas bagaimana hubungan politik antar-pemodal asing dan hasil alam yang ada di Indonesia?
Aristoteles dalam teori politiknya menyebut bahwa “manusia pada hakikatnya adalah binatang politik”. Manusia selalu diperhadapkan dengan kepentingan-kepentingan politik.
Namun tidak semua kepentingan politik bisa terakomodasi. Agar terakomodasi, manusia melibatkan kepentingan politiknya dalam bentuk kelompok. Namun yang menjadi masalah ketika kepentingan tersebut digunakan untuk kepentingan tertentu dan bukan untuk banyak orang.
Menjelang pemilu 2024, tidak menutup kemungkinan terjadinya negosiasi antar-pemodal asing dan partai-partai politik yang akan bertarung.
Lalu bagaimana dengan DPR, DPRD, dan DPD?
Sebuah lembaga yang diduduki atas dasar suara rakyat, menjelang pemilu 2024, seperti yang terjadi hari ini, aktor-aktor yang menang pada pileg 2019 akan terus berupaya untuk melanjutkan kedudukannya sampai pada pileg 2024. Pertanyaan selanjutnya adalah, sejauh mana kontribusi mereka terhadap rakyat dari tahun 2019 sampai dengan hari ini?
Jika terdapat tindakan dari para perwakilan yang dipilih rakyat hari ini, maka itu adalah sebuah keniscayaan. Jika tidak, maka penulis akan menyoroti di balik menyimpangan proses demokrasi yang tidak sehat di arena legislatif.
Yang membedakan pemilu presiden dan legislatif adalah donaturnya. Jika di pemilihan presiden dan wakil presiden terdapat kontribusi dari negara-negara luar beserta pemodal asing, maka di dalam pemilihan legislatif terdapat donatur lokal dan pemodal lokal. Dua kekuatan tersebut sangat menentukan kemenangan seorang legislatif dalam ajang perebutan kursi rakyat.
Maka secara langsung kemenangan Presiden, Wakil Presdien, DPR, DPRD, dan DPD adalah kemenagan para pemodal asing dengan memanfaatkan suara rakyat.
Walaupun demikian, negeri ini masih menunggu dan menanti para aktor yang berani membawa kepentingan rakyat; pemimpin yang memiliki kekuatan intelektual; pemimpin yang berani bertarung secara intelektual; pemimpin yang mampu memanajemenkan kesenjangan sosial. Semua itu akan terwujud jika para generasi intelektual berani untuk berbicara.
Akhir kata dari penulis, kebenaran akan menemukan jalannya jika seorang penulis berani untuk membukanya.
Aslam Muhammad Nur
( Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia )
Sumber: Nalar Politik