MATARAM – Anggaran sekitar 300 juta di Bagian Humas dan Protokol Setda Sumbawa Barat menuai sorotan sejumlah awak media, tak pelak sejumlah awak menuding adanya upaya balas jasa terhadap media-media tertentu.
Ketua Dewan Pembina Gabungan Jurnalis Investigasi (GJI) NTB Aminuddin, SH, mensinyalir, ada kekuatan besar membackup pos anggaran tersebut atas dalih balas jasa. Selain peruntukannya yang tidak transparan, anggaran yang cukup besar tersebut diduga hanya diberikan untuk beberapa media tertentu saja.
“Cukup aneh dengan ketersediaan anggaran media yang disiapkan itu, dimana anggaran sebesar itu untuk media tertentu saja. Ini kejadian yang luar biasa, artinya ada yang merequest. Dan pasti ini bukan orang biasa,” ungkap, ketua Dewan Pembina GJI NTB, dalam keterangan pers nya, Rabu (5/4/2022).
Dari hasil laporan dan investigasi jaringan GJI yang ada di Sumbawa Barat, didapati adanya kejanggalan karena selama ini belum pernah ada media yang bekerja sama sebelumnya menerima anggaran dengan nilai mencapai ratusan juta. Cuma beberapa media itu saja yang mendapatkan nilai fantastis.
“Fantastis karena media-media itu selain di Bagian Humas, juga mendapatkan porsi anggaran yang cukup besar di Dinas Kominfo. Sementara media lainnya, hanya menerima secuil saja,” sebut dia.
Menurutnya, jika keberadaan anggaran itu sebagai bentuk balas jasa, maka seluruh media yang ada di Kabupaten Sumbawa Barat juga punya kontribusi yang sama terhadap daerah. Pemerintah semestinya juga tidak apriori terhadap beberapa media hanya karena melihat dari sisi pemberitaannya yang kritis, tapi melihatnya dari sisi positif sebagai bentuk kebebasan pers. Apalagi pemberitaan itu dapat memberikan fungsi audit yang gratis untuk kinerja pemerintah.
“Fungsi Pers itu luas. Agar tidak memperoleh kritikan dari pers jangan sampai pemerintah membuat kesalahan atau membuat gagasan otoriter. Seperti dalam hal porsi pembagian anggaran media ini misalnya,” sebut dia.
“Kesannya media itu ada yang di anak tirikan. Media itu sama, tidak ada yang harus diistimewakan baik itu regional dan segala macamnya,” sambungnya lagi.
Pemerintah, lanjut dia, mestinya dapat melihat media itu sesuai fungsinya yaitu dapat digunakan sebagai sarana kritik terhadap kekuasaan dan kontrol masyarakat. Selain itu media juga berfungsi sebagai ruang publik atau ruang antara publik. Jangan hanya karena media itu menyajikan berita yang sifatnya asal bapak senang (ABS), maka media lainnya yang kritis di kesampingkan.
“Prinsip bad news is good news mendorong media untuk membuat pemberitaan terkait skandal maupun keburukan pemerintah. Ini yang harus dipahami,” tegasnya.
Meski begitu, Babe akrab pria itu disapa, mengaku belum mendapatkan klarifikasi resmi terkait dugaan monopoli anggaran publikasi baik dari Humas maupun Dinas Kominfo tersebut. Ia menyatakan memandang perlu untuk meminta klarifikasi agar tidak menimbulkan gesekan antara media.
“Klasifikasi sangat diperlukan karena kami juga perusahaan media butuh kepastian terkait dugaan tersebut. Jangan hanya menjadi isu yang berkembang tanpa kepastian. Kalo memang benar ada, kok hanya media tertentu yang dapat, kenapa yang lain tidak. Sehingga kami minta kerjasama media dihentikan saja untuk sementara,” pungkasnya.