Saya baru pertama kali mendengar secara utuh pidato Megawati Soekarnoputri. Satu jam lebih dia pidato di hadapan ribuan kader di hari lahir PDIP yang ke-50.
Mega berpidato dengan gaya santai. Dia memang membawa beberapa lembar naskah pidato. Tapi hanya beberapa alinea saja yang mungkin dia baca, selebihnya adalah di luar teks. Sangat santai dan mengalir.
Ada tiga topik yang menarik perhatian saya. Pertama adalah tentang isu kesetaraan gender. Terlihat sekali Mega membawa perasaan yang mendalam tentang isu ini. Dia menyebut nama sejumlah tokoh perempuan nusantara dan luar negeri.
Ketika dia menyebut nama Malahayati, Cut Nyak Dien, dan Cut Meutia, dia heran, mengapa Aceh yang melahirkan putri-putri pejuang itu kini mundur. Jelas dia melihat kemunduran itu dari aspek perempuan di sana.
Dia juga menyebut sejumlah ratu dari Mesir. Lagi-lagi dia heran mengapa negeri-negeri yang pernah berjaya dengan pemimpin perempuan itu kini mundur (mundur dalam isu kesetaraan gender).
Terakhir dia bercerita tentang Afganistan di bawah Taliban yang melarang perempuan bersekolah. Rezim itu juga melarang para guru perempuan mengajar.
Di sini, suaranya mendidih dan menggelegar. Dia tidak ingin ada diskriminasi gender dalam pendidikan. Dia tidak ingin ada diskriminasi gender di Indonesia.
Topik kedua yang membuat suara Mega meninggi adalah ketika dia bicara mengenai perlakuan orde baru pada para exil dan tahanan politik. Dia menceritakan pertemuannya dengan para mahasiswa yang dikirim ke luar negeri tapi tidak bisa kembali karena dicap komunis oleh Orde Baru. Dia bercerita tentang dirinya sendiri yang diminta Soekarno tidak menyelesaikan sekolah di perguruan tinggi.
Dia bercerita tentang banyak nisan di taman makam pahlawan yang tak bernama. Mengapa ada banyak pahlawan yang tidak boleh ditulis namanya, bahkan di batu nisannya? Mega mendidih.T
Topik ketiga adalah tentang komitmen kebangsaan. Dia meminta pada para kader partainya untuk turun ke bawah, bukan sekadar ramai memburu kekuasaan dan harta. Komitmen kebangsaan ini tidak boleh ditawar.
Salah satu bentuk komitmen itu adalah taat pada kesepakatan mengenai pergantian kekuasaan. Dia menolak penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan. Dia tidak ingin kader PDIP bermain-main dengan isu fundamental ini.
Pidato yang nyaris tanpa teks itu cerdas dan genuin. (Saidiman Ahmad Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) | Alumnus Crawford School of Public Policy, Australian National University/ Nalar Politik).