oleh

Draf Final RKUHP: Suami Perkosa Istri Bisa Dijerat Hukuman 12 Tahun Penjara

Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) memaparkan jenis perkosaan yang pelakunya bisa dihukum selama 12 tahun. Salah satunya, perkosaan yang disinggung adalah dalam hubungan pernikahan.

“Setiap orang yang dengan kekersan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengan dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun,” bunyi Pasal 477 Ayat (1) dikutip dari draf RKUHP terbaru, Rabu, (06/07/2022).

Kemudian pada Ayat (2) dijelaskan perbuatan perkosaan yang meliputi:
a. persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah;
b. persetubuhan dengan Anak;
c. persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; atau
d. persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dengan memberi atau menjanjikan uang atau Barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan menggerakannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan.

RKUHP juga memerinci keadaan perkosaan yang dimaksud pada Ayat 1 dan Ayat 2 yaitu:
a. memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain;
b. memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri; atau
c. memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain.

Jika perbuatan ini dilakukan pelaku terhadap anak maka bisa dikenakan hukuman lebih berat, berupa pidana 15 tahun. Begitu juga jika tindakan perkosaan ini dilakukan hingga menyebabkan luka berat.

Sedangkan jika mengakibatkan kematian, hukumannya bisa ditambah sepertiga dari hukuman pada Ayat 1. Sementara terkait dengan kasus perkosaan dalam perkawinan, hanya dapat ditindaklanjuti bila ada pengaduan korban.

“Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam ikatan perkawinan, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan korban,” bunyi Pasal 477 ayat (6).