oleh

Dialog Sejoli di Atas Ranjang

Oleh: Uci Susilawati
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Yogyakarta

Mata tak segera terlelap jika belum berkisah. Berkisah apa saja, meski tengah di atas ranjang.

Tampak rembulan tersenyum dari jendela yang menganga. Angin memadati ruang kamar yang pengap. Sesekali meraba kaki sampai kuduk bergidik, sebab kaki sedang telanjang. Hanya cawat yang melekat berpasang tangtop.

Rembulan sedang tidak sendiri. Gemintang pun ikut menyaksikan dua sejoli yang asyik berkisah di atas ranjang dengan lebar tak seberapa, namun cukuplah untuk tubuh mungil Tiyem dan Tini. Keduanya telentang sembari menerawang. Sesekali Tiyem mengangkat tangan ke langit-langit, menerawang jemari lalu berkisah.

Tiyem dan Tini memulai kisah begini di atas ranjang:

Tentang Novel yang baru saja dibeli kemarin sore. Seperti biasa, di meja baca mereka, sering menyebutnya tempat persembahan, masing-masing sejoli ini menghabiskan waktu seharian merampungkan itu novel. Berharap dapat dikisahkan kembali sebelum tidur.

“Tin, kau ingat novel yang kita selesaikan tadi?”

“Ya.”

“Bagaimana pendapatmu?”

“Aku mengagumi si Ranta juga si Komandan.”

“Bagaimana dengan si Musa? Kau membenci?”

“Tidak. Ada hal menarik yang aku dapat dari tokoh itu. Sikapnya yang congkak dapat melemah di hadapan sang istri, si Nyonya. Walau dalam keadaan terdesak, orang baru bisa memilih untuk jujur dan tulus meminta maaf dan memaafkan. Tapi, hanya pada yang tersayang. Andai saja seseorang bisa begitu bijak pada musuh sekalipun.”

“Maumu bagaimana, Tin?”

“Ya, seperti tokoh Ranta dan si Komandan. Tegas terhadap musuh, mengalahkannya dengan kebijaksanaan dan ketulusan. Setidaknya, dapatlah mengubah sikap congkak walau hanya kemungkinan.”

“Seperti?”

“Seperti Ranta yang mampu mengarungi hati si Nyonya yang sempat congkak dan berakhir bijaksana. Kau tahu, sikap congkak tak mudah diubah kecuali dengan kerendahan hati dan ketulusan berbuat.”

“Menurutmu itu sebabnya Nyonya yang tadinya bengis dan tampak dendam pada Ranta pada akhirnya memilih untuk ikut andil menjadi bagian dari perubahan, memilih untuk mengajarkan perempuan-perempuan baca-tulis?”

“Tepat. Kau bayangkan jika Ranta bersikap sama sebelumnya. Habis sudah nasib si Nyonya. Begitu pula dengan suaminya, si Musa, sebagai pimpinan DI yang pernah memfitnah dan menghajarnya babak belur. Untung-untung hanya dilaporkan pada OKD. Kau bayangkan lagi seandainya Ranta menyimpan dendam. Mudah saja ia membalas. Terlebih dengan pangkatnya yang sekarang, Lurah. Kau pikirkan sendiri.”

Tapi tidak. Ia tidak berbuat sama. Sebab ada kesejahteraan yang perlu dipikirkan. Tentang masyarakat yang butuh kedamaian setelah musuh besar mereka si Darul Islam kerap memaksa, memperbudak, merampas, menyiksa, membunuh, dan membuat kesulitan lainnya ditangkap.

Ranta coba mengenyampingkan amarah-amarah dan memilih untuk berbuat. Berbuat untuk kemanusiaan. Mereka sudah lelah mengalah, sebab hanya memberi sakit.

“Aku jadi ingat kata-kata yang dituliskan, Tin. Kita hidup dalam kesakitan melulu. Kalau bukan daging yang sakit, ya hati. Kesakitan melulu!”

“Ya. Sebab kesadaran itu, Ranta mesti melawan kepasifan. Membuat perubahan-perubahan, bukan pada dan untuk diri sendiri, tapi pada semua. Dari semua untuk semua.”

“Hehem… Bagi semua. Sebab perubahan tidak dapat dikerjakan sendiri. Semua perlu persatuan. Seperti kata Ranta, kalau ada persatuan, semua bisa dikerjakan. Jangankan rumah, gunung dan laut bisa dipindahkan. Lha, Tin, kau belum singgung tentang tokoh Komandan.”

“Sama seperti Ranta, hati dan pikirannya terbuka. Semua harus sama rata sama rasa. Jika tidak, perubahan-perubahan mustahil terjadi. Di bagian akhir novel, setidaknya, menggambarkan karakter kedua sosok itu, Ranta dan Komandan. Bagaimana dialog terjadi antara Lurah (Ranta), Komandan beserta jajarannya (militer), dan masyarakat. Apik sekali. Siapa pun yang ada di situ, semua punya hak berbicara. Apa pun yang akan diputuskan, diputuskan secara mufakat.”

“Aku setuju denganmu. Setidaknya, siapa yang kuat, dia tidak berubah menjadi binatang buas, yang setiap harinya memangsa hidup yang lainnya. Seperti yang juga tertulis di novel itu, bukan, Tin?”

“Setidaknya perjuangan Ranta dan kawan-kwan membuatku optimis bahwa selama kebenaran itu diperjuangkan, maka ia akan menang. Tapi, mesti dilakukan dengan sangat hati-hati dan sabar (di mana-mana aku selalu dengar: yang benar juga yang akhirnya menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit. Dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar….).”

“Segala sesuatu pasti ada hikmahnya, ya, Tin. Dalam menghadapi kesulitan sekalipun, kesabaran masih dibutuhkan.”

“Karena sabar itu indah, bukan?”

“Benar sekali.”

“Tapi indahnya kapan, Yem?”

“Ya sabar”

“Ah, kau selalu begitu. Ingat saja kata-kata bijak orang sebelah.”

Percakapan di atas ranjang itu sejenak terhenti. Masing-masing seperti merenung. Sesekali menatap langit-langit, sesekali mengubah posisi menghadap jendela yang masih setia bersama bulan dan gemintang.

Larut semakin mencekam. Angin membelai menjadi-jadi. Menelusuri tubuh, bahkan sampai ke palung dada.

“Tin, seandai tokoh Komandan dan Ranta sungguhan ada di dunia nyata saat ini, mau kau dengannya?”

“Jika dia mau.”

“Apa urusannya mereka mau atau tidak? Yang penting, kan, kau mau.”

“Aku tidak gila memperdebatkan awang-awang,” jawab Tini sembari menguap dan merampingkan badan, membelakangi.

“Ini bukan awang-awang. Ini mimpi, yang jika diperjuangkan akan jadi nyata. Terserah mereka mencintaimu atau tidak, yang penting kau mencintainya,” Tiyem meneruskan celotehnya bersama mimpi-mimpi yang tidak pasti, mencoba menggoda Tini dari balik punggung.

“Tin?”

“Tin, kau dengar aku? Ah, sialan. Tidur rupanya.”

Tini menjawab dengan dengkuran. Diam-diam tersenyum tipis. Menggoda.

Sumber: Nalarpolitik.com