oleh

Kaleidoskop Diri: Bertahan Hidup di Dunia Gerlap yang Gelap

Oleh: Candra Malik

TAHUN ini adalah tahun ketika sebegitu rupa Cinta diperjuangkan. Atas nama apa saja. Atas nama siapa saja. Atas nama tuhan, atas nama agama, atas nama kebenaran, atas nama kelompok, atas nama kepentingan, atas nama pribadi. Juga atas nama benci. Sampai-sampai kita tak tahu lagi mana yang sejati.

Yang kita benci ternyata Cinta, yang kita cintai ternyata Kebencian. Kita dengungkan persahabatan dengan slogan dan poster permusuhan. Kita memilih percaya pada rasa curiga. Selebihnya, kita lebih suka menyembur-nyemburkan salah dan dosa pada orang lain, sembari meraup pahala sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri.

Bombastis? Ya. Hiperbola? Ya. Lebay? Ya. Seluruh kata yang melampaui batas, mari kumpulkan. Setiap halnya niscaya dapat kita gunakan menggambarkan hari-hari sepanjang tahun ini. Bahkan, ruang-ruang perenungan dipenuhi pula oleh sosialita yang tafakur untuk sekadar mengikuti lini masa.

Ya, kita anak-anak zaman yang terus melabeli segala yang kita lahirkan dengan nama yang terus membaru. Sampai kehabisan kata namun belum sampai kesejatian makna. Jalan sunyi semakin ramai oleh kerumunan. Dari meditasi zen sampai yang transendental, dari yoga sampai pilates, dari kelas kecil sampai seminar besar, selalu penuh.

Agama menjadi seperti sungai yang tak dirawat, padahal ia sumber kehidupan. Kita menghuni bantarannya sambil setiap hari mandi, mencuci, dan membuang ke alirannya. Kesemestaan menjadi barang seken yang kita nomorduakan sejak hal-hal bernama modernitas masif diproduksi sebagai jagat baru. Seolah seluruhnya bisa diringkas dalam satu genggaman. Dan, tuhan dibajui logika, seakan yang tidak masuk akal bukan kehendak tuhan. Tak perlu lagi memikirkan bagaimana langit ditopang oleh pilar-pilar nirkasat sehingga tak runtuh. Lebih cerdas bila memperdebatkan apakah bumi itu bulat atau datar. Ya, kita asuh para pendebat.

Makhluk-makhluk yang indah kemudian kita potong-potong menjadi hanya satu-dua sudut pandang saja. Kita tentukan fokus, meski itu berarti kehilangan yang utuh. Kita warnai lagi dengan teknologi, mengelupas kulit yang asli dan kita ganti dengan aneka pulas dari aplikasi.

Wajah-wajah yang murni direlakan bersalin rupa dengan topeng-topeng yang bisa diajak tertawa dan menangis untuk tema-tema yang sesuai percakapan sesaat. Lantas, kita melupakannya—bahkan seolah tak pernah berada pada fase itu. Kita hidup dalam kepalsuan, dan kita menikmatinya. Diam menjadi tak bernilai. Kini, bahkan benda yang dulu mati pun bisa berbunyi.

Masa lalu diabadikan dengan drama. Masa depan dipetakan dengan sandiwara. Dan masa kini dimainkan dengan pura-pura. Kita jalan cepat, di tempat. Melesat tapi tak ke mana-mana. Hanya berkutat pada kebosanan-kebosanan yang sama; menuntut perubahan tapi menghasilkan kejumudan yang serupa belaka.

Masih ada kemelaratan dan kemelekatan, dan kita seperti sengaja mempertahankannya. Masih ada jerit kesakitan dan luka-luka yang menembus hati, dan payung hitam yang terus dibuka bahkan meski hari tak sedang terik atau hujan. Semakin banyak yang rela macet di lajur-lajur penyempitan jalan di seantero kota—dan kita di sana.

Orang-orang bekerja keras untuk bisa libur. Orang-orang mengumpulkan dana tabungan hari tua sejak muda. Orang-orang menggadaikan kesehatan demi menangkal sakit. Orang-orang lupa hari-hari penting dalam keluarganya karena mengingat tanggal-tanggal penting di luar rumah. Orang-orang menderita untuk bahagia.

Orang-orang memuji Tuhan seraya menengadah, namun mencibir makhlukNya yang menengadah. Orang-orang memaksa sesama untuk sukarela. Orang-orang bersenang-senang dengan wajah tegang. Orang-orang berebut benar, bahkan dari yang salah. Orang-orang ramai lisan, padahal hati kesepian.

Orang-orang itu kita. Yang cepat kagum pada figur baru, dan lekas jenuh pada yang sebelumnya. Yang mudah khilaf namun gampang pula insaf. Yang tak memerlukan alasan yang teguh untuk bersatu, pun untuk bercerai. Kita bisa kompak untuk hal-hal remeh, pun bisa berselisih untuk hal-hal yang sepele. Itu kita: orang-orang yang masih diberi umur sampai hari ini ketika orang-orang dekat kita satu per satu pergi.

Kita akan meniup terompet tahun baru lagi sambil saling mengolok. Entah siapa sesungguhnya yang kafir di antara kita. Mungkin begini pesta tahunan kita. Tapi, masihkah akan begini pula kaleidoskop tahun depan?

Di sini, semua orang boleh menjadi juru ceramah. Bahkan kalau perlu, boleh pula membawa mikrofon sendiri, juru kamera sendiri, panitia keramaian sendiri, dan penyorak sendiri. Siapa pun boleh jadi motivator, provokator, mediator, atau komentator. Muqallid bertingkah seolah bisa melampaui mujtahid.

Orang yang masih muallaf secara kurun waktu dalam agama barunya merasa seketika mukallaf melebihi penganut agama itu sejak lahir. Awam dan mumpuni semakin tergerus batas-batas pembedanya. Apalagi sejak kita tak merasa perlu untuk mengenal rekam jejak di dunia nyata. Cukup dari dunia maya. Dunia gerlap yang gelap.

Kita merindukan kenangan. Oleh karena itulah, kita buka-buka album lawas yang telah dimakan rayap waktu. Berharap kejayaan lama hidup lagi, tak peduli ia tak lagi kontekstual dengan zaman. Ketika merindukan terang siang di malam hari, kita menyalakan lampu secukupnya. Tapi ada pula ternyata yang membangun tata surya sendiri, seolah matahari bisa saja diterbitkan di luar waktunya.

Namun, kita sesungguhnya menulis sejarah bukan untuk menentukan bagaimana kita akan dikenang, melainkan bagaimana agar kita tetap disangka hidup. Kita ternyata tak pernah siap mati. Oleh karena itulah kita menghibur diri memimpikan bidadari.

Tulisan ini sebelumnya sudah Tayang di
geotimes.co.id dengan Judul yg sama.