2020, Tahun Kelam bagi Wartawan Indonesia

Tahun 2020 akan dikenang sebagai tahun yang khusus dalam sejarah Indonesia, termasuk juga pers. Pandemi yang dimulai sejak Maret 2020 ini membawa dampak besar bagi pers dan jurnalis, yang ditandai dengan penutupan media, dilakukannya upaya efisiensi yang berbuntut pada lahirnya pemutusan hubungan kerja (PHK), penundaan dan pemotongan gaji.

“Semua langkah untuk bertahan dari krisis itu berdampak pada kinerja media, cara kerja jurnalis, dan juga kesejahteraannya,” ujar Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan dalam konfrensi Pers Catatan Akhir Tahun AJI 2020 secara virtual, Selasa (29/12/2020).

Hadir dalam acara itu Sekjen Revolusi Riza, Ketua Bidang Advokasi Sasmito Madrin, Wawan Abk Ketua Bidang Ketenagakerjaan, dan Endah Lismartini Ketua Bidang Gender, Anak dan kelompok Marjinal.

Abdul Manan mengatakan di tengah tekanan berat dari sisi ekonomi, ancaman juga datang dari sisi kebebasan. Tahun 2020 menandai babak baru dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Divisi Advokasi AJI mencatat ada 84 kasus selama 2020. Jumlah ini bukan hanya lebih banyak dari tahun 2019 yang mencatat 53 kasus, tapi menjadi jumlah paling tinggi sejak AJI memonitor kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak lebih dari 10 tahun lalu.

Dari segi jenis kekerasan, yang paling mendominasi adalah intimidasi dan kekerasan fisik. Namun perkembangan yang lebih merisaukan adalah meningkatnya kualitas jenis serangan digital terhadap media.

“Kekerasan ini juga merupakan dampak ikutan dari pandemi. Sebab, serangan terhadap media secara siber itu terjadi dengan menyasar media dan jurnalis karena pemberitaannya yang memuat semangat kontrol sosial terhadap pemerintah dalam menangani pandemi,” kata Abdul Manan.

DIANIAYA – Reporter LKBN Antara biro Makassar, Muh Darwin Fatir menjadi salah seorang korban kekerasan dari aparat keamanan saat meliput demo mahasiswa di makasar, Selasa (24/9/2019). (Foto FB Agus Mawan)

Dijelaskan AJI mencatat setidaknya ada 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis dari 1 Januari – 25 Desember 2020. Jumlah ini merupakan yang terbanyak sejak AJI melakukan pendataan kekerasan terhadap jurnalis pada 2006.

“AJI menduga kekerasan terhadap jurnalis di lapangan masih lebih banyak yang belum tercatat karena keterbatasan sumber daya manusia untuk memverifikasi kasus. Ini seperti yang terjadi di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat,” tutur Abdul Manan.

Berdasarkan data Divisi Advokasi AJI, kasus kekerasan terbanyak terjadi di Jakarta (17 kasus), disusul Malang (15), Surabaya (7), Samarinda (5), Palu, Gorontalo, Lampung masing-masing 4 kasus.

“Dari jenis kasus kekerasan yang dihadapi jurnalis, sebagian besar berupa intimidasi (25 kasus), kekerasan fisik (17), perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan (15), dan ancaman atau teror 8 kasus. Sedangkan dari sisi pelaku, polisi menempati urutan pertama dengan 58 kasus, disusul tidak dikenal 9 kasus, dan warga 7 kasus,” kata Abdul Manan.

Ditambahkan AJI mencatat setidaknya ada 56 jurnalis yang menjadi korban kekerasan saat meliput demonstrasi menolak Undang-undang Cipta Kerja di berbagai daerah sepanjang 7-21 Oktober 2020.

“Ironisnya, pelaku dari semua peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis ini adalah polisi, institusi yang seharusnya menegakkan hukum. Dalam kasus yang terjadi di Jakarta, ada enam jurnalis yang juga ditahan di Polda Metro Jaya bersama para pengunjuk rasa, meski dua hari kemudian dibebaskan,” tambahnya.

AJI mencatat sejumlah kekerasan terhadap jurnalis dan perusahaan media dilakukan di ranah digital. Kasus terbaru adalah jurnalis Tempo yang mengalami percobaan peretasan pada 24 Desember 2020, usai menulis laporan pembagian bansos. Adapun akun yang akan diretas yaitu email, akun media sosial, dan aplikasi pengirim pesan instan di ponselnya.

Selain peretasan, AJI juga menyoroti kasus doxing yang terjadi sepanjang 2020. Doxing adalah pelacakan dan pembongkaran identitas seseorang, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif.

Ini seperti dialami jurnalis cek fakta Liputan6.com. Serangan doxing dilancarkan terkait karya jurnalistik korban yang dipublikasikan pada 10 September 2020. Sehari kemudian pelaku melancarkan serangan, dengan mempublikasikan data-data pribadinya di sejumlah akun media sosial, termasuk Instagram dan Telegram. Foto pribadi jurnalis Liputan6.com diambil tanpa izin, diubah menjadi animasi, untuk mendeskriditkan korban.

AJI Indonesia juga menyoroti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan yang ditetapkan pada 27 November 2020. Salah satu yang diatur dalam aturan tersebut yaitu pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim.

Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 4 ayat 6 yang berbunyi, “Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan.” Pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat 6 dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan.

AJI menilai peraturan MA ini akan membatasi hak jurnalis dalam mencari informasi, yang itu diatur dan dilindungi oleh Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentan Pers.

Abdul Manan juga menjelaskan situasi sulit akibat pandemi juga melahirkan sejumlah kebijakan media yang tak menguntungkan para pekerjanya. Dengan alasan untuk bertahan dari krisis, sejumlah perusahaan media antara lain melakukan PHK, menunda, dan memotong gaji. Langkah-langkah drastis perusahaan media ini menjadi tekanan berat bagi pekerja media.

Dahsyatnya pukulan pandemi tentu dirasakan semua pihak, namun demikian krisis ini tidak bisa dijadikan alasan bagi perusahaan-perusahaan media untuk bertindak sewenang-wenang kepada karyawannya.

“AJI mendesak perusahaan media menghentikan kebijakan penundaan gaji, pemotongan gaji, dan PHK sepihak. Kalau pun ada upaya drastis yang akan dilakukan, harus dilakukan sesuai undang-undang,” pungkas Abdul Manan.(red)